Rabu, Juni 17, 2009

Derap langkah Sarjiman

Hitam, kotor, penuh kapal, beberapa luka bekas sayatan juga terlihat di sana-sini.. menelusuri jalan lurus, mengarungi aspal nun luas, jutaan bakteri dari ribuan tempat sampah yang ia kunjungi menempel di sekujur tubuh.. hanya ia usap, dengan tangan yang jauh lebih kotor. Keringat mengucur, membasahi sehelai baju yang satu minggu ini belum di ganti. Panas matahari yang menyengat dan memantul di atas aspal tak enggan ia lewati.. dengan langkah yang terseok-seok, lambat, namun tak gentar, kaki kirinya selalu ia seret di belakang, hanya sebagai penumpu dari kaki kanannya yang terus melaju tak kenal letih. Tak letih ia menjalani hidup, sosok lelaki tua bernama sarjiman, yang hanya hidup sebatang kara di tengah kota Jakarta yang keras. tak ada kerabat, istri, apa lagi anak.. Yang ia punya hanya setangkai carit yang ia gunakan untuk mengais sampah, beserta gerobak yang dengan susah payah ia tarik. Dari terbit fajar, hingga sang surya tenggelam, ia tak berhenti berjalan, mengitari satu komplek ke komplek lain, untuk mencari plastic bekas, yang bagi orang lain hanya sampah belaka, namun baginya harta paling berharga, karena sampah-sampah itulah yang bisa membuatnya bertahan hidup, setelah letih berjalan ia kembali ke rumahnya, yang hanya berukuran 2x3 meter, hanya sedikit lebih lebar dari liang kubur. Di sana ia tidur dan melepas lelah, di balik dinding kardus yang mungkin hancur ketika angin datang. Tapi apa daya, hanya di sana ia bisa hidup. Barang bekas yang susah payah ia kumpulkan, kini mulai ia angkat, ia gabungkan bersama barang-barang bekas yang satu minggu ini sudah ia kumpulkan. Dan sore itu juga langsung ia bawa kepada seorang pengepul yang bermarkas tidak jauh dari rumahnya. Selama ini kebutuhan makan sarjiman di beri oleh handoko, juragan kaya penampung barang-barang bekas, sarjiman di berikan uang makan setiap minggu, namun tidak secara Cuma-Cuma, seminggu kemudian sarjiman harus menyetorkan barang rongsok sesuai dengan yang sudah di tentukan, jika kurang maka ia di anggap berhutang. Sering ia jatuh sakit karena terlalu lelah bekerja, dengan tubuhnya yang sudah renta, namun apa daya, sakit pun ia terus berjalan, ia terus menarik gerobak yang setiap hari menemaninya..

Hari ini.. sebenarnya ia tahu kalau tubuhnya sedan sakit, seharusnya ia beristirahat, tapi ia tetap bekerja, demi membayar nasi bungkus yang tadi pagi ia makan, demi membayar hutang-hutangnya yang semakin menumpuk, meski tubuhnya terasa panas bahkan lebih panas dari aspal yang ia pijak, ia tetap berjalan, menyusuri tempat sampah dari rumah ke rumah. Haus menyergap, sisa air kemasan di tempat sampah, sering kali ia tenggak, tanpa rasa ragu atau cemas.. namun air itu hanya menutupi dahaganya, tubuhnya tetap saja terasa tak karuan. Ia merasa lelah, letih.. namun berusaha untuk terus semangat, selain untuk bertahan hidup, ia mempunyai satu semangat lain, rasa cinta. Kehidupan sarjiman sebelumnya tidak seburuk ini, dulu ia adalah seorang buruh, ia mempunyai keluarga, seorang istri dan dua orang anak. Yang tidak tuhan berkati untuk terus bersama, anak perempuannya yang saat itu berumur empat tahun, memiliki keinginan keras untuk pergi ke kebun binatang, melihat anaknya terus merintih, akhirnya sarjiman mengabulkan keinginan anaknya, ia mengajak keluarganya pergi ke kebun binatang meskipun ia tahu, kalau itu adalah uang yang seharusnya menjadi jatah makan satu bulan, namun ia tidak peduli, yang terpenting banginya adalah agar anaknya tersenyum.. namun tamasya itu tidaklah membawa kebahagiaan, hanya menyisakan seberkas duka, istri dan anak keduanya tewas dalam kecelakaan bus yang memakan korbah puluhan jiwa. Ia dan anak pertamanya selamat dalam kecelakaan itu, kaki sarjiman patah, ia sempat koma beberapa hari, dan ketika membuka mata, ia mulai tau bahwa keluarganya sudah tak ada, anak pertamanya yang selamat, hilang dalam kecelakaan itu, ada dokter yang mengatakan, bahwa anak itu di bawa oleh sesorang ke Jakarta, untuk di urus dan di besarkan. Karena tadinya semua orang berfikir bahwa sajiman tidak akan bisa bertahan hidup, dengan kondisi yang seperti itu, ia hanya bisa menerima nasib, setelah keadaannya membaik, ia pergi ke Jakarta, untuk menyusul anaknya, dengan berbekal satu lembar kertas yang di tuliskan nama orang yang mengasuh anaknya, namun usahanya sia-sia, karena orang tersebut sudah pindah dari alamat rumah yang ia cari, dan tak pernah ia tahu dimana keberadaanya hingga detik ini.. carut marut kota Jakarta membuatnya semakin tak berdaya, di kampung saja hidupnya susah, apa lagi di tempat ini.. ia hanya bisa menjadi orang buangan, yang memungut sampah dari tiap rumah. Meskipun pekerjaan ini terasa sangat melelahkan, namun ia tak gentar, dengan harapan bisa bertemu dengan anaknya di tengah jalan, tapi dua puluh tahun berlalu, harapan itu tak pernah tercapai. Tak pernah ia temukan sosok gadis yang sangat ia sayangi, kebun binatang menjadi tempat yang setiap hari ia lewati, dengan penuh harapan gadis kecilnya ada di antara ribuan kerumunan orang yang sedang menyaksikan gajah beraksi. Namun sia-sia sudah apa yang telah ia lakukan, karena tak pernah ia temukan wajah itu. Hingga hari ini, dengan kondisi tubuh yang sangat tidak baik, ia masih menyempatkan diri datang ke kebun binatang, hanya berdiri di luar, dan menghampiri setiap tempat sampah di sisi jalan. Kondisinya semakin buruk, ia semakin lemah menarik gerobaknya, hingga di dekat gerbang kebun binatang itu, ia terbaring, jatuh begitu saja.. sarjiman pingsan, dan tak ada yang menolong, sebagian orang tak acuh, meneruskan laju kendaraannya tanpa kenal rasa perduli, sang satpam yang ingin menolong sedang di sibukkan dengan puluhan mobil yang hendak masuk, hingga akhirnya seorang gadis turun dari sebuah mobil mewah, dan menghampiri sarjiman. Ia berteriak minta tolong, hingga beberapa pedagang sekitar menghampirinya, dan mulai menggotong sarjiman ke dalam mobil.

Sarjiman mulai membuka mata, melihat ke sekelilingnya, ia barada di satu tempat yang sangat nyaman, dengan kasur empuk sebagai alas, juga seorang gadis yang tersenyum lembut, dengan keranjang buah di pangkuannya..

“bagaimana pak, udah ngerasa baikan..?” ucap gadis itu menyapanya..

“sepertinya sudah nak.. terima kasih sudah menolong..” jawab sarjiman..

“iya pak.. sesama manusia memang sudah seharusnya kita saling menolong..” sahut gadis itu.. sejanak hening, sarjiman memperhatikan kamar yang saat ini ia tempati, ada kulkas, televisi, ruangan yang rapi, yang ukurannya mungkin enam kali lipat ukuran rumahnya..

“nak, bapak sudah merasa lebih baik, bapak mau pulang.. nanti kalau kelamaan biaya rumah sakitnya pasti tambah mahal..” ucap si bapak, sambil terus memperhatikan ruangan tersebut..

“bapak tenang aja.. jangan terlalu cemas, biayanya saya yang nanggung.. saya ikhlas, bapak istirahat saja.. jangan terlalu banyak pikiran, supaya cepat sembuh..”

Dalam hati sarjiman, terbercak sesuatu, suatu kekaguman terhadap wanita muda itu, kalau ia perhatikan, mungkin sekarang gadis kecilnya yang pernah hilang sudah sebesar wanita ini.. harapannya begitu besar, bahwa wanita ini adalah anak gadisnya..

“kamu baik sekali, ternyata di kota ini masih ada orang sebaik kamu.. siapa nama kamu..?”

“Tari..”

Mendengar nama itu membuat harapannya memudar, anak gadisnya bernama andina, seorang bocah 4 tahun, tentu masih terus mengingat namanya, dan akan tetap akrab dengan sapaan itu. Dari jawaban tadi sarjman merasa bahwa harapannya hanya ampas belaka, terlalu tinggi khayalannya, untuk menemukan anaknya sebgai wanita yang cantik dan baik hati ini.

“bapak kenapa..?” Tanya andina saat melihat ekpresi sarjiman.

“tidak apa-apa.. Cuma inget sama anak bapak, yang dulu hilang, mungkin sekarang sudah sebesar kamu..”

“hilang dimana pak..?”

Sarjiman terdiam sejenak, kemudian mulai mengingat ke masa lalu..

“waktu itu..” belum sempt sarjiman bercerita, tiba-tiba datang seorang lelaki, dari balik pintu, gadis itu memanggilnya ayah..
“ayah..”

“sayang.. bagaimana keadaan bapak itu, apa sudah membaik..” ucap lelaki itu dengan nada bijaksana.. ia berdasi dan berpakaian rapih..

“dia sudah membaik yah.. kata dokter Cuma kelelahan..”

Sarjiman hanya bisa menatap pilu, antara seorang ayah dan anaknya yang saling berbagai kasih sayang di hadapannya. Ia hanya diam, terlamun dalam kesunyian sendiri.. tiga hari berlalu, ia benar-benar menikmati kasih sayang dari seorang gadis yang memberikannya perhatian lebih, padahal sarjiman tidak ingin berlama-lama ada di tempat itu, namun suasana kasih sayang dari seorang gadis yang baru ia kenal itu, membuatnya ingin tetap menikmati waktu yang hanya sebentar ini.. suapan dari tangan tari yang lembut membuat sarjiman merasakan surga dunia yang selama ini ia idamkan, ingin ia terus seperti ini, tapi ia tau, ini hanya nasibnya sementara, jalan hidup yang permanen baginya adalah bersama lalar-lalar hijau dari tempat sampah.. sebenarnya sangat ingin ia ceritakan tentang masa lalunya dulu.. namun tak pernah sempat ia ceritakan.. karena tari selalu datang ke tempat ini bersama ayahnya.

Sampai hari ini sarjiman baru di perbolehkan pulang, meskipun sebenarnya ia masih ingin bersama Tari, yang meskipun bukan anaknya, tapi sangat berkesan di hatinya.. sarjiman menatap tari, seakan anak akndungnya.. sarjiman di papah oleh tari saat keluar dari ruangan, tari kehilangan keseimbangan karena belum terbiasa, memapah seorang lelaki cacat. Tari dan pak sarjiman terjatuh, sambil terjatuh sarjiman melihat sesuatu, yang keluar dari baju tari, sebuah kalung giok yang sangat ia kenal, kalung berbandul batu giok berwarna hijau, keluar dari bajunya, yang selama ini tergantung di lehernya namun tak pernah ia perlihatkan.. dan ketika melihat bandul itu, sarjiman langsung menatap tari dengan tatapan yang berbinar.. harapannya ada di depan mata, tuhan mengabulkan permintaannya yang selama dua puluh tahun, tuhan tunda.

“anakku..”

Tari menatap sarjiman dengan penuh tanda Tanya, ia tak mengerti apa yang di katakan sarjiman, tanpa banyak bicara, sarjiman langsung memeluk tari dengan sangat eratnya, tari semakin bingung saja melihat sarjiman berprilaku demikian..

“Maksud bapak apa..?”

“batu giok itu, itu adalah batu giok pemberian ibumu, kamu adalah anakku yang hilang dua puluh tahun lalu..”

Tari semakin bingung dengan semua ini.. dan sarjiman mulai menceritakan semua yang terjadi.. hingga membuat tari mengerti, ia juga mengingat kejadian itu, namun sudah tidak mengingat wajah ayahnya yang kini sudah berubah. Andina eka lestari adalah nama barunya, yang di berikan oleh ayah angkatnya, ayah angkat tari adalah orang yang bijak, ia menerima pengakuan sarjiman, ia mempercayai sarjiman, hingga mengajak sarjiman untuk tinggal bersama anaknya.. dan ini merupakan anugrah yang sangat luar biasa.. yang sudah lama ia nantikan kini hadir juga.. ia tak lagi sebatang kara.. kini ia memiliki seorang anak yang cantik dan baik hati..

Satu pelukan di akhir cerita, di tengah rumah sakit yang hangat, antara seorang ayah dan anaknya yang telah lama terpisah menjadi akhir dari kisah ini..

Minggu, 14 juni 2009

11 : 56 : 24 Wib






0 komentar:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

untuk menggunakan emotion di bawah, silakan masukkan kode di samping emoltion.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com