Bocah kecil, aida. Terus menyendiri di kesunyian sendiri. Memperhatikan semua nafas yang bergerak di sekitar, mata yang menyorot tajam, menusuk, mencengkram semua dinding kehidupan. Tatapan bengis orang-orang tak ia pedulikan. Awan gelap mendung juga bukan halangan lagi, lebih menyatu dengan alam. Bahkan buangan. Taburan senyum penuh kesombongan yang terus ia perhatikan, yang sempat sempatnya berperan ungkap suara, di saat riak sudah sampai di kubangan. Ungkap suara itu sangat-sangat tak berarti, lebih tak berarti dari air yang mengalir di daun talas.
Kini bocah, Aida tak peduli lagi, siapa mereka dan mau apa mereka, hanya angin-angin penuh rayuan yang kini ia coba untuk ia tahan. begitu sangat menggoda, benar-benar sangat ingin ia terbang mengikuti angin-angin itu, namun ia tahu tidak sampai di Sana kemampuannya. Ia terlalu berat untuk bisa ikut bersama angin-angin itu, bagitu berat dengan problema juga dilema. Sorot mata tajamnya sedikit-sedikit menarik perhatian banyak mata, namun ia segera berpaling kembali di kesunyian. Kesunyian sendiri. Yang telah membungkusnya dalam gelap, kegelapan yang begitu sangat.. tak ada sebercak cahaya pun yang bisa meneranginya, sesekali datang lampu yang amat terang yang ingin menyentuhnya, namun ia menghindar, bocah aida menjauh, menghindari, dan tidak ingin dekat, karena ia tahu, kalau cahaya yang terang itu, hanya sementara, dengan cepat dan segera pasti akan hilang. Hanya agar cahaya itu di agungkan oleh mereka-mereka yang terperdaya.
Dinding-dinding kehidupan terus ia sorot, yang dulu ia nikmati kini hilang sudah. Dinding-dinding yang membuatnya semakin iri, terhadap anak-anak seumurannya yang masih bisa tertawa ria, anak-anak itu masih menikmati bagaimana rasanya sentuhan seorang ibu, masih menikmati bagaimana kecupannya ketika hendak berangkat sekolah, masih menikmati belaian-belaian sayang di larut malam, pelukan ibu, canda gurau di tengah ruang tamu, Sedangkan aida kini hanya merasakan kesendiriannya. Ayah, ibu dan kakak-kakaknya tewas dalam musibah situ gintung. Ketika air bah menyapu seluruh penduduk yang tinggal di bawah Situ. Wajah kedua orang tuanya biru lebam. Tertimpa beton hasil sapuan, kakaknya tersangkut di pepohonan, tak terselamatkan, semuanya meninggal. Hanya bocah kecil itu yang tuhan beri keselamatan. Masih tuhan hembuskan nafas di jasadnya. Terluka parah ia ketika kejadian itu, tabung oksigen sempat menemaninya beberapa hari. Hingga ia bangun dan tersadar, melihat beberapa anak masih menikmati suapan dari ibunya, melihat beberapa anak masih bermain dan bercanda bersama ayahnya di tengah pengungsian, sedangkan bocah aida, ketika tersadar hanya melihat dua orang dokter yang menemaninya, bersama beberapa lensa kamera yang ingin menyorot dan mendapatkan gambar dirinya yang baru siuman, bagi semua orang bocah aida adalah mukjizat, tinggal tepat di bawah situ, puluhan orang meninggal terbawa arus, begitu juga dengan keluarganya, namun hanya ia yang kini masih bernafas.
“ibu.. ibu..” Ucapnya ketika baru membuka mata.
Seorang suster menatapnya lembut, mengatakan bahwa ibunya sedang keluar mencari makanan, begitu juga ketika bocah aida menanyakan ayah dan kakaknya. Ada saja alasana yang di berikan oleh suster.
Hingga akhirnya ia ketahui sendiri dimana ayah, ibu dan kakaknya. Kini mereka berbaring tak berdaya, di kerubungi cacing-cacing di bawah sana.
Hanya bocah Aida yang menatap pilu, menikmati kepedihannya sendiri. Ia hanya diam, memperhatikan ribuan orang yang datang ke situ hanya sekedar melihat kehancuran orang-orang yang ia sayang. ia bersembunyi di balik semak-semak, setelah mengetahui bahwa keluarganya telah tiada, ia kabur sejak kemarin malam, tidak minum, tidak makan di pelariannya. Dokter-dokter di rumah sakit pontang-panting mencarinya, namun ia tidak peduli. Ia hanya diam dan merenung, meratapi orang-orang yang kini datang untuk melihat kepedihannya, kesunyiannya sendiri. Beribu orang datang ke teras rumahnya, yang kini sudah tidak berbentuk lagi, sudah habis tersapu air bah, bahkan airnya sudah kering, hanya berisikan lumpur, yang sudah rata dengan tanah. Mau apa mereka datang, juga orang-orang berdasi yang pura-pura perduli, dimana mereka sebelum kejadian ini, perdulikah mereka dengan tanggul yang akan segera hancur, sama sekali tidak. Mereka hanya ingin di agungkan, berteori sana-sini, baru terucap di bibir mereka akan memperbaiki tanggul. Sambil membawa lambang partai mereka masing-masing, berpura-pura memberikan bantuan, padahal hanya sekedar ingin menggelar tikar, dan lambang dari partai mereka. Puluhan posko yang tergelar dengan berbagai atribut partai di sekitarnya, membuat bocah Aida semakin Muak. Begitu juga dengan ratusan orang yang menjadikan bencana ini sebagai pemandangan segar, sebagai objek wisata ketika pagi tiba. Bahkan tontonan yang menyenangkan di bawah penderitaan. Sejenak bocah aida keluar dari persembunyiannya, untuk mengambil sebuah boneka yang tergenang lumpur, yang ia ketahui bahwa boneka itu adalah boneka kesayangannya, yang tuhan berikan kepadanya sebagai teman. Sungguh membingungkan, beton-beton kekar tersapu begitu saja, tapi tidak dengan boneka beruang kecil itu. boneka itu tak berdaya, namun tetap diam, menanti pemiliknya kembali.
Kini bocah aida mulai tersenyum, melihat bonekanya yang rada kotor dan basah. Hati bocah aida mulai tenang, tidak ada lagi kecemasan, sejenak boneka itu baginya sudah cukup, untuk menggantikan keluarganya yang sudah hilang, namun perih itu tak juga hilang. Perih itu masih ia rasakan.
Tatapannya masih kosong ke depan, memperhatikan beribu orang tertawa ria di atas penderitaannya. Hingga akhirnya lamunannya terpecah, ketika seorang suster, membongkar semak-semak, dan mendapati bocah aida sedang terlamun bersama kepedihannya. Suster tersenyum dengan lembutnya, bagi bocah aida hanya suster itu yang mempedulikannya, karena ia tahu kalau suster itu tidak tidur semalaman ini, mencari dirinya yang sedang bersembunyi di balik semak, kantung mata suster itu terlihat hitam, wajahnya kusam, ada kepanikan dan rasa kehilangan yang kini mulai tertutup. tak ada satu pun mata yang benar-benar mencarinya, kecuali sang suster. Yang kini menjadi ibunya, lembut kasih sayangnya bahkan lebih lembut dari untaian sutra.
Di rumahnya yang baru kasih sayang itu benar-benar terbercak. Benar-benar cahaya terang yang abadi, karena ia mengetahui, bagaimana keadaan anak angkat pertama suster itu. anak angkatnya yang pertama cacat, untuk berfikir pun sepertinya sulit, namun suster yang kini menjadi ibunya, mengasuh anak cacat itu dengan penuh kasih sayang, dan bocah aida mengerti, bahwa anak cacat itu kini menjadi adiknya. Dan suster itu bisa membagi rasa sayangnya untuk mereka berdua. Kini keluarga baru ia miliki bersama seorang suster yang penuh kasih sayang, dan seorang adik yang harus ia lindungi. Kini bocah aida menjadi lebih kuat, bersama keluarga barunya. Yang tentram dan penuh kasih sayang.
Bekasi, 31 Maret 2009
21:42:36 Wib
0 komentar:
Posting Komentar
untuk menggunakan emotion di bawah, silakan masukkan kode di samping emoltion.